Oleh: Ev. Hermanto Karokaro, S.Th, M.A
Dari waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya terus meningkat. Maraknya tayangan
infotainment di televisi menyiarkan parade artis dan public figure yang
mengakhiri perkawinan mereka melalui meja pengadilan, seakan mengesahkan bahwa perceraian merupakan
tren di abad modern. Sepertinya
kesakralan dan makna perkawinan sudah tidak
lagi berarti. Pasangan yang bercerai sibuk mencari pembenaran akan
keputusan mereka untuk berpisah. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada yang bakal sangat menderita dengan
keputusan tersebut, yaitu anak-anak
Masalah yang mungkin muncul sebagai akibat perceraian
adalah lahirnya anak yang memiliki kepribadian
kurang baik. Tidak jarang anak
yang korban perceraian sering menunjukkan perilaku-perilaku yang agresif bahkan
mungkin ada yang suka berkelahi, atau
sebaliknya mungkin juga ada anak yang pendiam atau sulit bergaul. Perilaku-perilaku
yang tampak ini sesungguhnya hanya sebagai gejala dan bila ditelusuri tentu ada
penyebabnya. Anak menunjukkan perilaku
agresif bila ditelusuri kemungkinan ada perasaan frustrasi karena merasa
gagal mendamaikan kedua orang tua. Demikian juga ada anak menunjukkan perilaku anti sosial atau sulit
bergaul hal ini dikarenakan ada perasaan bersalah karena ada pikiran bahwa
anaklah yang menyebabkan orang tua bercerai. Anak-anak
yang menjadi korban perceraian mengalami banyak masalah karena perhatian dan
kasih sayang yang diberikan oleh orang tua saat mengalami konflik berat mau
tidak mau juga akan berubah. Selama tahun pertama perceraian, kualitas
pengasuhan yang dialami anak seringkali jelek, orang tua sibuk dengan kebutuhan
dan penyesuaian status menjadi janda/duda dengan konsekuensi psikologis, social
dan ekonominya.
Ketegangan selama proses dan setelah perceraian membuat
orang tua menjadi lebih sensitif, mudah marah sekaligus mudah menangis,
depresi, kebingungan dan instabilitas emosional serta kemelut yang menguras
emosi, akan menyita waktu dan energi orang tua untuk “mendengarkan”
anak-anaknya, sedangkan menghabiskan kesabaran untuk secara sensitive merespon
kebutuhan anak secara tepat sulit untuk dipenuhi. Sehingga bisa terjadi, anak
yang rewel karena merasa diabaikan, justru akan mendapat bentakan dari ibu atau
ayahnya. Atau sebaliknya, orang tua menjadi lebih protektif, bahkan posesif
terhadap anak mereka karena kini anak adalah satu-satunya ‘harta”mereka.
(Heterington, Anderson, & Hagan, 1991)
Perceraian
merupakan hal yang sangat emosional yang menenggelamkan anak ke dalam konflik.
Konflik adalah suatu aspek kritis keberfungsian keluarga yang seringkali lebih
berat dari pada pengaruh struktur keluarga terhadap perkembangan anak.
Sepertiga anak terus memperlihatkan kemarahan akibat tidak dapat tumbuh dalam
keluarga utuh dan lebih cenderung mengingat konflik dan stress yang mengitari
perceraian tersebut sepuluh tahun kemudian, ada kekhawatiran bila mereka tidak
dapat hidup lebih baik dari orang tuanya. Sedangkan pada anak perempuan yang
remaja, lebih sering terlibat konflik dengan ibunya, berperilaku dengan
cara-cara yang tidak terpuji, memiliki harga diri rendah dan mengalami lebih
banyak masalah hubungan heteroseksual. Mengutip pendapat Paul Gunadi akibat peceraian pada anak : (1 ) Perasaan
terbelah atau tercabik-cabik (2)
Perasaan marah bahkan frustrasi (3) Perasaan bersalah (4) Perasaan
kehilangan identitas social (5) Perasaan
rendah diri.
Perceraian tidak dapat dihindari tapi dampaknya pada anak
dapat diminimalisir dengan menciptakan lingkungan yang optimal meski tidak
selalu gampang dicapai orang tua tapi sangat dibutuhkan bagi tumbuh kembang
anak.
Untuk menolong anak korban perceraian maka sebagai
konselor ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu : 1. Mencegah
lahirnya anak yang berkeribadian buruk dengan mengajak orang tua untuk tetap bertanggung jawab dalam pertubuhan
kepribadian anak. 2. Melakukan konseling atau menangani anak-anak yang sudah memiliki kepribadian
buruk.
Sebagai langkah pencegahan kepada orang tua harus diberi
penjelasan bahwa jika anaknya ingin bertumbuh dengan baik harus memperhatikan
hal-hal berikut: Pertama, anak harus
mendapatkan kebebasan untuk menemui orang tuanya. Mereka harus diperbolehkan
menelpon atau menjumpai salah satu orang tua tanpa merasa takut menjumpai orang
tua lainnya. Anak tidak boleh diharuskan untuk berpihak pada salah satu orang
tuanya karena hal ini akan menciptakan suasana yang sama-sama merugikan. Pilih
ibu maka ayah harus dilupakan, pilih ayah berarti ibu harus
dilepaskan.anak-anak harus mendapat izin untuk menyanyangi kedua orang tuanya
di depan masing-masing orang tuanya.
Kedua, anak
membutuhkan konsistensi untuk merasa aman dan terlindungi. Masing-masing orang
tua perlu menemukan aturan dan konsekuensinya yang sama di kedua rumah. Orang
tua perlu membahas dan menyepakati kegiatan rutin anak-anak, kegiatan yang
diperbolehkan atau tidak. Semangat kerjasama ini akan menunjukkan kepada anak
bahwa kedua orang tuanya adalah menyenangkan. Konsistensi akan memberi anak
keseimbangan dan membantu mereka menyesuaikan diri menghadapai perceraian dan
penyesuaian prestasinya di sekolah.
Ketiga, anak harus
mengetahui bahwa kedua orang tuanya masih terlibat dalam kehidupan mereka.
Orang tua tidak menceraikan anaknya karena anak membutuhkan asuhan keduanya.
Kedua orang tua harus menghadiri acara-acara sekolah. Keterlibatan keduanya
menujukkan kedua orang tua berpendapat bahwa sekolah merupakan sebuah
prioritas, ini dapat menjadikan mereka berusaha bersungguh-sungguh disekolah.
Sebagian besar
anak berharap orang tuanya akan bersatu lagi. Hal ini dapat dipahami karena
mereka ingin keluarganya kembali seperti dahulu. Sayangnya khalayan yang
dipegangnya seringkali bertentangan dengan kenyataan yang ada. Anak harus merasa nyaman dengan diri mereka
sendiri agar mampu bertingkah laku dengan baik dan berprestasi disekolah. Anak
akan dapat menyesuaikan diri dengan perceraian orang tuanya dan dapat berhasil
disekolah kalau orang tuanya bisa menjadi bagian kehidupan mereka. Tidak ada
obat yang dapat menyembuhkan luka perceraian. Tapi ada tindakan yang dapat
mengurangi rasa sakitnya yaitu kedua orang tua harus menjaga perdamaian dan
harus tetap terlibat dalam setiap aspek kehidupan anak-anak tersebut.
Sebagai langkah terapi atau penyembuhan terhadap anak
yang sudah menjadi korban, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
proses konseling: Fokuskan sesi pertama untuk membangun hubungan baik dengan anak-anak.
Bersabarlah. Anda tak bisa memburu-buru seorang anak dan mengharapkan hasil
yang baik pada waktu yang sama. Siapkan diri Anda untuk melakukan permainan
guna mencairkan suasana yang kaku, menonton video tentang anak-anak yang
berhasil mengatasi perceraian kedua orang tua mereka, atau “sekedar berbincang”
tentang sekolah, teman-teman, keluarga dan hal-hal lain yang ingin didiskusikan
si anak. Jangan terkejut atau kecewa jika anak menolak proses konseling. Ini
biasa terjadi. Sepanjang hidupnya anak-anak diberi petunjuk agar berhati-hati
berbicara dengan orang asing. Sampai terbangun relasi konseling yang baik, maka
konselor akan tetap menjadi orang asing baginya. Majulah perlahan-lahan, dan banyaklah
bermain di sesi awal.
Pada sesi berikutnya usahakan maju
lebih dalam untuk menyimak ke dalam proses cara berpikir dan perasaan klien
anak Anda. Gunakan buku gambar (jika sesuai umurnya) dan latihan “Selesaikanlah
Kisah Ini” untuk membuat anak siap memasuki sesi-sesi berikutnya. Berilah
penghargaan pada kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dan selalu katakan yang
baik mengenai kedua orang tuanya. Jika klien anak menyatakan kemarahannya
kepada orang tuanya, dengarkan namun jangan menyetujui kemarahan tersebut.
Namun, jangan juga membantah atau mementahkan apa yang disampaikannya. Jika
seorang anak bertanya, “Apakah saya boleh marah kepada ayahku?” katakanlah,
“Yang benar-benar penting adalah apa yang kau pikirkan dan rasakan. Tidak ada
aturan tentang bagaimana anak sebayamu harus bereaksi terhadap masalah ini. Jadi
kamu bisa mengatakan apa saja yang ingin kau sampaikan di sini. Saya tidak akan menjadi prihatin atau melaporkan hal itu kepada ibumu.”Saat
proses konseling berlanjut, terus lakukan pembicaraan dengan orang tua untuk
melihat apakah klien anak menyadari dan memenuhi tujuan yang sudah kalian
tetapkan bersama di awal. Jika tujuan yang ditetapkan telah dicapai, dan tidak
ada lagi masalah baru yang harus ditangani--akhirilah konseling. Anda juga bisa
mengakhiri konseling pada saat orang tua merasa bahwa anak sudah mencapai
perkembangan yang diharapkannya. Ingatlah selalu bahwa datang ke sesi konseling
itu hal yang tidak enak bagi siapa pun, terutama bagi mereka yang menjadi orang
tua tunggal yang harus melakukan semuanya sendirian. Mengakhiri suatu seri konseling
pada saat yang tepat akan sangat diterima oleh mereka sebagai sesuatu yang
menyenangkan.
Literatur:
1.
David Miller,
Konseling Anak Korban Perceraian
2.
Fattayat,
Perceraian dalam penghayatan Anak
3.
Paul Gunadhi, Perceraian dan dampaknya terhadap anak